Studi ini menemukan 74% pelaku perdagangan sosial masih mengandalkan dana pribadi untuk modal usaha. Hanya sebagian kecil yang mendapatkan kredit dari lembaga keuangan formal. Perempuan memang lebih aktif berjualan lewat media sosial, tetapi cenderung lebih berhati-hati mengambil risiko finansial. Banyak yang memilih skema informal seperti arisan dibanding pinjaman bank. Selain itu, kurangnya integrasi fitur end-to-end (berupa katalog, pembayaran, logistik, dll) membuat transaksi tetap manual, rawan risiko, dan tidak tercatat. Kondisi ini menjadi hambatan utama untuk mengakses pembiayaan formal.
Riset ini juga mencatat hanya 5,8% pengusaha yang pernah mengikuti pelatihan bisnis. Angka ini menunjukkan perlunya pendekatan pelatihan yang fleksibel, murah, dan sesuai dengan platform yang digunakan pengusaha sehari-hari.
Cerita lain datang dari Ratna, pengusaha kerajinan di Jawa Barat, yang mengandalkan WhatsApp dan arisan komunitas untuk menopang usahanya. Ia menolak menggunakan pembayaran digital karena khawatir dengan penipuan, dan merasa sistemnya terlalu rumit.
“Saya tidak terbiasa dengan sistem perbankan, saya percaya pada orang-orang yang saya kenal,” katanya. Sikap ini mencerminkan rendahnya adopsi digital di antara pengusaha berbasis komunitas yang rentan kehilangan akses jika tidak ada pendekatan inklusif dan edukatif.
Temuan-temuan ini menyoroti urgensi membangun ekosistem digital yang inklusif dan aman, mulai dari regulasi yang mendukung, perlindungan konsumen, hingga pemanfaatan data alternatif untuk credit scoring. Platform digital juga perlu menghadirkan fitur yang sederhana dan ramah pengguna agar pengusaha informal bisa berkembang tanpa harus berpindah ke e-commerce yang kompleks.
“Social commerce bukan sekadar berjualan online, tapi menjadi ruang penting bagi perempuan untuk membangun usaha, sementara masih bisa mengurus keluarga, dan mengakses peluang ekonomi digital. Sudah saatnya mereka didukung dengan sistem yang mendorong mereka untuk berpertisipasi secara formal dalam kegiatan ekonomi, khususnya ekonomi digital,” ujar Grace Retnowati, Direktur MSC Southeast Asia.
Tampilkan Semua