“Selain kian mengancam keanekaragaman hayati Indonesia, tingginya laju perubahan iklim ini juga semakin memperparah kerentanan sosio-ekonomi dan menimbulkan tantangan bagi mata pencaharian yang penting,” kata Riki.
Selama dua dekade terakhir, peristiwa hidrometeorologi juga menyumbang lebih dari 75% bencana di Indonesia dan 60% kerusakan ekonomi. Pada tahun-tahun mendatang, tren ini diperkirakan akan semakin meningkat.
The World Bank, 2021, menganalisis Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut, dengan peringkat kelima tertinggi di dunia dalam hal jumlah penduduk yang tinggal di pesisir dengan elevasi lebih rendah. Tanpa adaptasi, total penduduk yang terancam terpapar banjir permanen bisa mencapai 4,2 juta jiwa lebih pada 2.070–2.100.
World Bank juga memperkirakan 95% wilayah pesisir Jakarta berpotensi tenggelam pada 2050. Indonesia juga sering mengalami bencana alam, dengan total 3.622 bencana pada 2019.
Dalam 40 tahun terakhir, Indonesia kehilangan sekitar 33 juta hektare hutan, atau hampir 30% dari total kawasan hutan seluas 125 juta hektare. Hutan primer yang tersisa hanya 47,2 juta hektar. Deforestasi tersebut sebagian besar disebabkan oleh konversi lahan untuk ekspansi perkebunan sawit, hutan tanaman industri, tambang, dan pembangunan infrastruktur lain.
Dalam kesempatan itu, penulis buku ini, Muhamad Burhanudin, mengatakan kerusakan alam saat ini bukan semata akibat kelalaian, tapi juga berakar pada desain politik pembangunan yang menempatkan ekologi sebagai korban.
Regulasi seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba, pun melemahkan perlindungan lingkungan demi kepentingan investasi jangka pendek.
“Kebijakan dibuat minim partisipasi publik yang memadai, lebih didorong kepentingan oligarki dan korporasi, serta minimnya akuntabilitas. Pembangunan berkelanjutan dan transisi hijau sering menjadi tagline, tapi perlu komitmen keberlanjutan realisasi,” katanya.
Tampilkan Semua