JAKARTA, CILACAP.INFO – Penulis: Widodo Setiadharmaji, Pemerhati Industri Baja dan Pertambangan Kisah runtuhnya industri baja Inggris dan kontroversi akuisisi U.S. Steel oleh Jepang membuka mata dunia tentang satu kenyataan: baja bukan sekadar komoditas industri, melainkan fondasi dan instrumen kedaulatan negara. Inggris, yang sejak era Thatcher menghapus peran negara dalam industri baja, kini harus menalangi krisis yang melanda Tata Steel UK dan British Steel melalui subsidi dan intervensi darurat. Negara yang dulu menjadi pionir dan kampiun industri baja pada era industrialisasi abad ke-19 dan awal abad ke-20, justru kini industri bajanya berada dalam kondisi kritis dan terjebak dalam ketergantungan terhadap produsen asing.
Berbeda dengan Inggris, Amerika Serikat mempertahankan kendali atas sektor baja melalui mekanisme yang lebih sistematis. Saat Nippon Steel hendak mengakuisisi U.S. Steel pada akhir 2023, pemerintah AS melakukan evaluasi dampak akuisisi terhadap kepentingan strategis dan keamanan nasional melalui Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS).
Setelah melalui kajian, pemerintah AS menyetujui akuisisi dengan syarat pemberian golden share, yang memberikan hak veto negara atas keputusan strategis. Pendekatan ini menegaskan bahwa sektor baja tidak hanya masalah bisnis, tetapi bagian dari kepentingan dan strategi negara.
Indonesia memang tidak memiliki lembaga seperti CFIUS di AS. Namun Indonesia kini memiliki instrumen yang tak kalah penting, yang dapat menjembatani peran negara dalam melindungi kepentingan strategis dan kedaulatan ekonomi nasional: Daya Anagata Nusantara (Danantara). Sebagai pengelola aset dan investasi strategis lintas sektor, Danantara memikul mandat besar untuk memperkuat hilirisasi, membangun daya saing industri, dan menciptakan kemandirian ekonomi. Tetapi hingga kini, sektor baja belum disebut secara eksplisit sebagai prioritas investasinya—padahal industri ini memegang peran yang sangat sentral dalam pembangunan nasional.
Tampilkan Semua