“Ini bukan klub yang sederhana. Tapi sebagai bangsa yang pernah mempelopori Konferensi Asia-Afrika, Indonesia punya warisan untuk mendorong kerja sama negara-negara berkembang,” ujarnya.
Dr. Ilham juga menekankan pentingnya keterbukaan. “Keanggotaan Indonesia di BRICS tidak harus mengurangi peluang kita untuk bergabung dengan OECD. Justru menunjukkan bahwa kita fleksibel dan terbuka terhadap berbagai bentuk kemitraan internasional.”
Rajiv Bhatia: Indonesia Bergabung di Waktu yang Tepat
Sementara itu, Ambassador Rajiv Bhatia—mantan Duta Besar India untuk Myanmar dan Meksiko, serta Komisaris Tinggi India untuk Kenya dan Lesotho—dan salah satu pengamat BRICS paling berpengalaman, menegaskan bahwa Indonesia bergabung dengan BRICS di saat yang sangat strategis. “Ini kapal yang sedang berlayar, bahkan sedang bertambah besar. Ada sekitar 30 negara mengantri untuk bergabung,” ujarnya.
Ia menyoroti bahwa meski BRICS awalnya muncul dari ide investasi, kini telah menjelma menjadi forum strategis yang memperjuangkan reformasi lembaga-lembaga global, keadilan pembangunan, dan solidaritas Selatan-Selatan. “Keberhasilan utama BRICS adalah: ia bertahan, ia tumbuh, dan ia relevan,” tegas Rajiv.
Terkait isu kontroversial seperti mata uang bersama, Rajiv menegaskan bahwa India tidak mendukung ide itu. “BRICS tidak dalam jalur membuat mata uang tunggal. Yang mungkin hanyalah perdagangan dalam mata uang lokal—dan itu sepenuhnya rasional.”
Ia juga mengusulkan kemungkinan Indonesia bergabung dalam kerja sama IBSA (India, Brasil, Afrika Selatan) sebagai langkah logis lanjutan, sejalan dengan arah kebijakan luar negeri Indonesia yang semakin aktif secara global.
Peran Indonesia: Penyeimbang Demokratis dalam Forum Global
Ketiga pembicara sepakat bahwa Indonesia memiliki potensi besar sebagai kekuatan penyeimbang di dalam BRICS. Kombinasi antara demokrasi, ekonomi besar, dan posisi strategis di Asia menjadikan Indonesia mitra yang ideal.
Tampilkan Semua