Lebih dari 40% area perkebunan sawit Indonesia dikelola oleh petani kecil independent yang sebagian besar masih berada di luar sistem ketertelusuran dan sertifikasi formal (Mongabay, 2023). Kesenjangan ini membatasi akses mereka ke pasar berkelanjutan dan menimbulkan risiko kepatuhan bagi rantai pasok secara keseluruhan. Ketika negara importir global memperketat standar keberlanjutan melalui kebijakan seperti EUDR, Indonesia dihadapkan pada tantangan penting, yaitu mengintegrasikan jutaan petani kecil ke dalam rantai pasok yang transparan, tertelusur, dan inklusif agar tetap kompetitif di pasar global. Oleh karena itu, ketertelusuran digital dan kesiapan sertifikasi menjadi hal yang sangat penting, terlebih di tengah pembahasan kemungkinan penundaan EUDR, meskipun belum ada konfirmasi resmi terkait tenggat waktu Desember 2025 (Koltiva, 2025).
Kesenjangan Sertifikasi dan Ketertelusuran
Secara global, petani kecil yang mengelola kurang dari 50 hektare menghasilkan hingga 30% minyak sawit mentah dunia dan mencakup hampir sepertiga dari total area perkebunan sawit (Chain Action Research, 2021; RSPO, 2022). Faktanya, hanya 7% pabrik bersertifikat di Indonesia yang bermitra dengan petani kecil independen, dan kurang dari 1% dari mereka telah memperoleh sertifikasi RSPO atau ISPO. Di Provinsi Riau yang merupakan salah satu sentra produksi sawit terbesar di Indonesia, perkebunan petani independen mencakup 1,61 juta hektare, tetapi hanya 0,48% (7.798 ha) yang telah bersertifikat RSPO. Hal ini menunjukkan kesenjangan inklusi yang signifikan. Kekurangan data ini bukan hanya persoalan sertifikasi, melainkan juga mencerminkan minimnya visibilitas dan inklusi sistemik. Petani yang tidak terdaftar tetap terpinggirkan dari program keberlanjutan dan peluang hilir, sementara perusahaan menghadapi risiko kepatuhan dan hambatan pasar.


