JAKARTA, CILACAP.INFO –
Kita sering menyalahkan cinta atas luka yang kita rasakan. Padahal, seperti yang diungkap Dr. Daniel Suwandi, bukan cinta yang menyakitkan—melainkan harapan yang tak terpenuhi.
Dalam wawancara eksklusif ini, Dr. Daniel mengajak kita menyelami tiga level hubungan manusia: Nafsu, Cinta, dan Kasih.
Sebuah perjalanan batin yang membuka mata: dari hubungan yang berpusat pada ego, menuju cinta yang bersyarat, hingga akhirnya sampai pada Kasih sejati—cinta yang bebas dan tenang
Sebuah Renungan Bersama Daniel Suwandi, Ph.D. (pulihdaridalam.com)
Ada satu kalimat yang sudah terlalu sering kita dengar—dan mungkin pernah kita ucapkan sendiri saat hati remuk: “Cinta itu menyakitkan.” Kalimat itu seperti mantra universal yang diwariskan dari generasi ke generasi, seolah menjadi pembenaran bahwa mencintai berarti siap menderita. Namun, bagaimana jika sebenarnya bukan cinta yang menyakitkan, melainkan harapan yang tak terpenuhi?
Pandangan inilah yang dibawa oleh Daniel Suwandi, Ph.D., seorang pakar Psikologi Spiritual dan Transpersonal. Dalam wawancara eksklusif, ia memaparkan gagasan radikal: bahwa penderitaan dalam hubungan bukanlah akibat cinta, melainkan kontrak tak terlihat yang kita buat di dalam pikiran kita sendiri. “Rasa sakit bukan efek dari mencintai, tapi hasil dari tawar-menawar yang gagal,” ujarnya tenang.
Dr. Daniel menguraikan analisisnya ke dalam tiga tingkatan kedewasaan hubungan: Nafsu, Cinta, dan Kasih. Melalui tiga lensa ini, ia mengajak kita meninjau ulang: apakah yang kita jalani benar-benar cinta, atau hanya keinginan yang terselubung dalam pakaian romantisme?
Level 1: Nafsu – Ketika Hubungan Adalah Cermin Pemanfaatan Diri
Menurut Dr. Daniel, tingkat pertama dinamakan Nafsu—sebuah hubungan yang berpusat sepenuhnya pada pemenuhan diri. Ia menyebutnya sebagai “Tingkat Pemanfaatan” atau The Taker.


