Misalnya, kamu mulai investasi emas dari usia 25 tahun dengan nominal Rp500.000 per bulan. Dalam setahun, kamu menyisihkan Rp6 juta. Dalam 10 tahun, kamu sudah menabung Rp60 juta. Namun, karena harga emas cenderung naik rata-rata 4-12% per tahun, nilai investasimu bisa berkembang jauh melebihi nominal tabunganmu, apalagi jika kamu menjualnya di saat harga emas sedang tinggi.
Namun, jika kamu baru mulai investasi emas di usia 35 tahun dengan nominal dua kali lipat, katakanlah Rp1 juta per bulan, kamu tetap akan kalah dengan mereka yang memulai 10 tahun lebih awal. Inilah kekuatan waktu dalam investasi. Selisih 10 tahun itu bisa membuat perbedaan cukup besar dalam jangka panjang.
Emas sebagai Bentuk Disiplin dan Proteksi
Bagi anak muda, investasi emas juga bisa jadi alat bantu mengelola keuangan. Karena emas bukan uang tunai, kamu tidak bisa begitu saja membelanjakannya untuk jajan impulsif. Ini membuatnya menjadi “uang beku” yang hanya dicairkan untuk kebutuhan penting, seperti dana darurat, pendidikan, atau rencana besar lainnya.
Lebih dari itu, emas adalah investasi yang tidak terlalu fluktuatif seperti saham, tapi lebih stabil. Artinya, untuk kamu yang belum nyaman dengan risiko tinggi atau belum paham analisa pasar, emas bisa jadi awal yang bijak untuk masuk ke dunia investasi.
Memulai investasi emas di usia 20-an bukan hanya soal menabung logam mulia, namun juga tentang membangun kebiasaan finansial yang sehat, mengunci nilai uang dari inflasi, dan memanfaatkan kekuatan bunga majemuk seoptimal mungkin.
Jadi kalau hari ini kamu punya Rp50.000 sisa uang jajan, pikirkan lagi sebelum membelinya untuk kopi kekinian. Bisa jadi, dengan mengubah kebiasaan kecil ini dan mengalihkan ke pembelian emas digital, kamu sedang menabung waktu. Dan seperti kata pepatah lama, “Orang bijak membeli emas, namun orang paling bijak membeli waktu dengan emas.”
Tampilkan Semua