Sebaliknya, Afrika menjadi wilayah dengan tingkat kepemilikan Bitcoin terendah, dengan hanya 1,6% dari populasi yang memiliki BTC. Negara-negara berkembang umumnya menghadapi lebih banyak hambatan dalam mengadopsi Bitcoin dibandingkan negara maju, terutama karena kendala infrastruktur dan regulasi yang belum stabil.
Secara keseluruhan, negara-negara maju memiliki tingkat adopsi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah berkembang, di mana akses terhadap layanan keuangan digital masih menjadi tantangan besar.
Potensi Pertumbuhan Bitcoin dan Tantangannya
Menurut River, Bitcoin baru mencapai sekitar 3% dari potensi adopsi maksimumnya, yang mencakup individu, institusi, dan pemerintah. Ini berarti Bitcoin masih berada di tahap awal perjalanan menuju adopsi global.
Namun, ada beberapa tantangan utama yang menghambat adopsi massal Bitcoin, terutama di negara-negara berkembang.
1. Infrastruktur Digital dan Regulasi
Negara-negara berkembang sering kali mengalami kesulitan dalam mengakses internet yang stabil serta kurangnya regulasi yang mendukung penggunaan aset kripto. Tanpa regulasi yang jelas, masyarakat cenderung ragu untuk berinvestasi atau menggunakan Bitcoin dalam transaksi sehari-hari.
2. Kurangnya Edukasi tentang Bitcoin
Banyak orang masih memiliki miskonsepsi tentang Bitcoin. Sebagian menganggapnya sebagai penipuan atau skema Ponzi, sementara yang lain takut dengan volatilitas harganya yang ekstrem. Minimnya literasi finansial menjadi tantangan besar dalam memperkenalkan Bitcoin ke khalayak yang lebih luas.
3. Volatilitas yang Tinggi
Harga Bitcoin sangat fluktuatif, yang membuat banyak orang ragu menggunakannya sebagai alat pembayaran atau penyimpan nilai. Di negara-negara berkembang, volatilitas ini menjadi hambatan besar karena banyak masyarakat lebih memilih stablecoin yang dipatok ke mata uang fiat, seperti USDT atau USDC, sebagai aset digital yang lebih stabil.
Solusi untuk Mendorong Adopsi Bitcoin
Agar Bitcoin bisa mencapai adopsi yang lebih luas, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:
Tampilkan Semua