JAKARTA, CILACAP.INFO – Belakangan ini, keinginan untuk menjalani slow living semakin sering muncul di obrolan anak muda maupun pekerja urban. Hidup di kota besar terasa serba cepat, penuh target, dan tidak pernah benar benar berhenti. Banyak orang mulai bertanya, apakah ritme seperti ini perlu dijalani terus menerus.
Slow living menawarkan jawaban yang lebih tenang. Bukan soal berhenti bekerja atau menolak ambisi, tapi tentang memilih hidup dengan tempo yang lebih sadar.
Salah satu wujud slow living yang paling sering dibayangkan adalah pindah ke desa. Lingkungan yang lebih hijau, udara lebih bersih, dan interaksi sosial yang terasa hangat menjadi daya tarik utama.
Mengapa Desa Terasa Menarik untuk Slow Living
Tinggal di desa sering dikaitkan dengan kesederhanaan. Aktivitas sehari hari tidak terburu buru. Kamu bisa memulai pagi tanpa macet, tanpa notifikasi yang terus berbunyi, dan tanpa tekanan jam kerja yang kaku.
Biaya hidup juga menjadi alasan penting. Harga kebutuhan pokok, sewa rumah, hingga transportasi umumnya lebih rendah dibanding kota besar. Kondisi ini membuat banyak orang merasa hidup di desa lebih masuk akal secara finansial. Dengan pengeluaran yang lebih terkendali, kamu punya ruang untuk menikmati hidup tanpa rasa cemas berlebihan.
Bagi sebagian orang, desa juga memberi kesempatan untuk kembali mengenal diri sendiri. Rutinitas yang lebih pelan membuka ruang refleksi dan membuat hidup terasa lebih utuh.
Slow Living Bukan Berarti Lepas dari Perencanaan Keuangan
Meski terdengar sederhana, slow living tetap membutuhkan perencanaan. Tinggal di desa bukan berarti bebas dari kebutuhan finansial. Ada biaya rutin yang harus dipenuhi, mulai dari makanan, kesehatan, hingga kebutuhan darurat.
Banyak orang keliru menganggap hidup pelan otomatis lebih murah dan aman. Padahal, tanpa perencanaan yang matang, kondisi keuangan bisa justru tidak stabil. Pemasukan mungkin tidak sebesar saat tinggal di kota, sementara pengeluaran tetap perlu dijaga agar seimbang.
Tampilkan Semua
