Ketika AI Menjawab, Siapa yang Berpikir?
“Di era AI sekarang, kita sering bertanya pada AI tanpa crosscheck kebenarannya. Padahal jawaban AI belum tentu akurat,” ujar Jaka membuka sesi. Pernyataan sederhana itu langsung menyentuh realitas mahasiswa yang tumbuh di era ChatGPT.
Ia kemudian memberikan contoh mengejutkan: sebuah penelitian MIT Media Lab yang viral dengan headline media “Menggunakan ChatGPT bikin lebih bodoh.” Sebagai critical thinker, Jaka mengajak mahasiswa untuk tidak langsung percaya. “Kita perlu cek: seperti apa metode penelitiannya? Apa yang dimaksud ‘lebih bodoh’?”
Ternyata, penelitian oleh Dr. Nataliya Kosmyna berjudul “Your Brain on ChatGPT” melibatkan 54 mahasiswa yang dibagi tiga kelompok: menulis esai dengan otak saja, dengan Google, dan dengan ChatGPT. Kelompok ChatGPT menunjukkan aktivitas otak paling lemah.
“Tapi ini bukan berarti ChatGPT membuat bodoh. Ini berarti penggunaan AI tanpa critical thinking membuat otak kita pasif,” jelas pria yang memiliki lebih dari 13 tahun pengalaman mengembangkan sistem AI berskala enterprise ini. “Yang penting bukan menghindari AI, tapi menggunakan AI dengan bijak.”
Membedah Argumen yang Terdengar Meyakinkan
Jaka mengajak mahasiswa bermain detektif logika. Argumen pertama: “Lulusan universitas ternama pasti sukses. Jadi kalau mau sukses, harus masuk universitas ternama.”
Melalui polling, mayoritas mahasiswa menganggap argumen itu cacat. Intuisi mereka ternyata tepat. Setelah dibedah menggunakan Paul-Elder Critical Thinking Framework, terungkap logical fallacy “Correlation ≠ Causation”. “Memang benar banyak lulusan universitas ternama yang sukses. Tapi apakah karena mereka dari universitas ternama? Atau karena faktor lain seperti kerja keras, networking, atau skill?”
Tampilkan Semua

